Senin, 10 Mei 2010

REINTERPRETASI SERTA REKONSTRUKSI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA MELALUI PARADIGMA FUNGSIONAL

Bookmark and Share
editor: Wiwid Kurniandi
BAB I. PENDAHULUAN.
I.1. Latar Belakang.
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal lahirnya Pancasila. Adalah Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.
Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya, relevansi pidato Lahirnya Pancasila yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka.
Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang terbesar (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai “nasionalisme, islamisme, marxisme“.
Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royong“ yang dimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semua dan semua buat satu“. Dengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka.
Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni 1945 yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.
Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus. Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.

I.2. Tujuan Penulisan.
Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.

I.3. Rumusan Masalah.
Berikut beberapa permasalahan yang saya angkat dalam pembuatan makalah ini :
1. Bagaimana Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional ?
2. Bagaimanakah keterkaitan antara sila-sila di dalam Pancasila ?

BAB II. PEMBAHASAN.

Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada seluruh pembicaraan para Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan travaux preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus nasional dalam pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam undang-undang organik yang melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam konstitusi dan ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran Pemerintah, Pancasila perlu dipahami secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari, bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas Pemerintah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah lagi, namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan atau konsensus nasional pertama yang amat mendasar tersebut juga harus dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya secara berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau melahirkan Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ir. Soekarno menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di dalam negeri maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika Ir. Soekarno semakin lama semakin cenderung kepada Blok Timur, sehingga beliau pernah menyifatkan Pancasila sebagai marxisme yang diterapkan di Indonesia, suatu frasa yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian terhadap pembaruan terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara tahun 1965-1967. Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila sebagai Dasar Negara telah menjadi miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang abadi kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.

II.1. Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila.
Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang yang pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya secara sistematis serta melembaga ke dalam kenyataan adalah mengadakan reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masing-masing sila, maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran yang saya tulis, menjelang munculnya tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna.
Tawaran ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia dalam proses pembentukan sebuah negara nasional di Indonesia, yang memuat norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara pernyataan kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta empat tugas pokok pemerintah.
Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang serta kebijakan pemerintahan, dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur penyelenggara negara di bawah pimpinan presiden. Sesuai dengan azas kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya, seluruh kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent (FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai sekedar obyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan substansi serta fungsi masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini, termasuk tentang hak asasi manusia, saya berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai berikut.
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama (yang harus diwujudkan) oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.
Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika“ dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma“, yang artinya: “walau berbeda-beda namun tetap satu jua. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia apapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997).
Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai demikian banyak perangkat lunak, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

II.2. Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila.
Kita dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir. Soekarno sebagai salah seorang nation-and state-builder pada bangsa yang bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia. Beliau harus mengemban dua tugas besar dan berat sekaligus, yaitu
1. Memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat memberi tempat kepada kemajemukan masyarakat juga mampu membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi kemajemukan itu, dan
2. Membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang secara historis dan kultural relatif homogen sehingga bisa merujuk pada filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan negara practically from scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum sempat ditangani beliau dengan baik.

Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan yang nota bene sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa Pancasila adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta mekanisme kenegaraan.
Setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan hanya mencakup sistem nilai tetapi juga dimensi kelembagaannya dengan menegaskan bahwa Sila Keadilan Sosial setidak-tidaknya merupakan benchmark, kalaulah tidak merupakan core value untuk menguji terwujud tidaknya Pancasila sebagai Dasar Negara tantangan berikutnya adalah menjawab pertanyaan bagaimana menjabarkannya ke dalam sistem kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

II.3. Dimana Letak Kesulitan Penjabaran Pancasila?
Sebuah pertanyaan kecil rasanya perlu diajukan terhadap kenyataan bahwa demikian lama wacana tentang Pancasila ini hanya berputar-putar pada tataran yang amat abstrak dan tidak dapat dicari kaitannya dengan mekanisme serta proses pembuatan kebijakan serta strategi pemerintahan yang akan melaksanakannya. Mengapa Pancasila yang sampai sekarang masih diakui sebagai Dasar Negara tidak atau belum dapat ditindaklanjuti secara konsisten dan koheren ke dalam sistem nasional? Mengapa demikian sulit menjabarkan orthodoxy Pancasila ke dalam orthopraxis Pancasila ?
Pertanyaan ini mungkin bukan hanya dapat ditujukan terhadap bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap bangsa-bangsa Asia pada umumnya. Dalam hal ini saya merujuk pada pertanyaan Mahbubani (2002) seorang doktor ilmu filsafat yang berasal dari Singapura yang sangat menggelitik: Mampukah Orang Asia Berpikir?
Mahbunani mempertanyakan mengapa orang Eropa yang masih terbelakang sewaktu orang-orang Asia sudah mencapai tingkat peradaban yang tinggi, kemudian bisa dikalahkan oleh orang-orang Eropa setelah kebangkitan mereka yang dimungkinkan oleh Renaissance sekitar abad ke-16 serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak abad ke-17 dan 18. Mahbubani memberikan tiga kemungkinan jawaban, masing-masing dengan argumen pro-kontra. Namun bagaimanapun, Mahbubani menunjukkan kenyataan bahwa kemajuan bangsa-bangsa Eropa dimulai dengan kemajuan dalam cara berpikir, yang kelihatannya belum berlangsung di Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya.
Mengenai masalah ini Hajime Nakamura (1971) mengingatkan bahwa terdapat perbedaan dalam cara berfikir sesama orang Asia, khususnya antara orang India, Cina, Tibet, dan Jepang. Sayang Nakamura tidak mencantumkan ciri khas cara berpikir orang Arab, yang dari segi geografis sesungguhnya masih dapat disebut sebagai orang Asia.
Untuk bangsa Indonesia yang secara kultural sangat dipengaruhi oleh cara berpikir India, perlu kita perhatikan pengamatan Nakamura terhadap beberapa ciri khasnya, yaitu stress on universals, preference for the negative, minimizing individuality and specific particularities, the concept of the unity of all things, the static quality of all things, subjective comprehension of personality, subservience to universals, alienation from the objective natural world, the introspective character of Indian thought, the metaphysibal character of Indian thought, dan the spirit of tolerance and conciliation. Sungguh menarik untuk mengetahui sampai berapa jauhkah pengaruh cara berpikir India tersebut terhadap kecenderungan mengabstrahir Pancasila pada sisi yang satu dan untuk menghindari wacana pelaksanaannya pada sisi yang lain. Untuk aspek pelaksanaan ini, mungkin kita perlu memperhatikan cara berpikir orang Asia lainnya, yaitu cara berpikir Cina.
Nakamura mencatat hal-hal berikut tentang cara berpikir Cina: emphasis on the perception of the concrete, non-development of abstract thought, emphasis on the particular, conservatism expressed in exaltation of antiquity, fondness for complex multiplicity expressed in concrete form, formal conformity, the tendency toward practicality, individualism, esteem for hierarchy, esteem for nature, reconciling and harmonizing tendencies.
Sungguh akan sangat menarik jika dapat disusun dan dikembangkan suatu naskah yang memuat cara berpikir orang Indonesia pada umumnya, dan cara berpikir suku-suku bangsa Indonesia pada khususnya, untuk memahami pola serta dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada khususnya, yang akan menjadi konteks kultural pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.
Tidak dapat disangkal, bahwa suku bangsa Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India (baca: Hindu) adalah suku bangsa Jawa, dan bahwa perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh BPUPKI untuk pulau Jawa, yang dipimpin oleh Dr Radjiman Wedyodiningrat, salah seorang tokoh Boedi Oetomo yang sangat bernuansa kultur Jawa.
Kelihatannya masih panjang waktu yang harus dilewati sebelum benar-benar terbentuk suatu cara berpikir yang benar-benar Indonesia, an Indonesian mindset, yang dapat dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan melalui rangkaian konsensus-konsensus nasional.

BAB III. KESIMPULAN DAN PENUTUP.
Suatu masalah dasar yang dihadapi Pancasila sebagai dasar Negara selain berubah-ubahnya penjelasan Ir. Soekarno sebagai perumus pertama Pancasila sebagai respons terhadap kondisi dunia dalam era Perang Dingin adalah belum jernihnya esensi substansi, keterkaitan antar sila-silanya, hubungannya dengan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, serta bagaimana format pelaksanaannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Masalah dasar tersebut timbul sebagai akibat interpretasi yang amat personalistik, elitis, dan miopik terhadap Pancasila, sehingga Pancasila hanya difahami sebagai hasil karya pemikiran pribadi Ir. Soekarno, dan merupakan serangkaian asas yang perlu dikembangkan dan disosialisasikan oleh para pemimpin kepada rakyat, serta terbatas pada sejarah Indonesia setelah tahun 1945.
Masalah dasar tersebut di atas akan dapat diselesaikan dengan menempatkan Pancasila secara historis sebagai kristalisasi dari perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam memerdekakan diri dari penjajahan, membentuk suatu negara nasional baru, serta membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur dalam negara baru yang dibangun bersama tersebut. Oleh karena itu diperlukan reinterpretasi serta rekonstruksi terhadap Pancasila yang memungkinkan Pancasila bisa dipahami secara konsisten dan koheren serta dapat ditindaklanjuti dalam konteks dan dalam kerangka institusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menjelang timbulnya berbagai wujud reinterpretasi dan rekonstruksi lainnya, saya menawarkan suatu paradigma fungsional Pancasila, yang bertumpu pada kenyataan bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama, dan bahwa kelima sila tersebut dapat dikembangkan menjadi bagian-bagian dari suatu paradigma yang fungsional, dan sesuai dengan perkembangan dan komitmen mutakhir Republik Indonesia dalam melindungi, menghormati, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Sila pertama, Ke-Tuhanan yang Maha Esa adalah pengakuan Negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia, yang dewasa ini diakui sebagai salah satu non-derogable rights. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan landasan bagi dan pengukuhan terhadap berbagai instrumen hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan pengukuhan terhadap rangkaian panjang proses pembentukan Bangsa Indonesia serta terhadap pembentukan sebuah negara nasional Indonesia, yang memberi tempat kepada seluruh bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk dari segi ras, etnik, serta golongan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah merupakan penegasan terhadap asas kedaulatan rakyat dan mekanisme pengambilan keputusan politik. Dan akhirnya, sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, merupakan tujuan akhir terbentuknya negara nasional Republik Indonesia yang merupakan tolok ukur serta benchmark kinerja pemerintah. Keterkaitan fungsional antara lima sila Pancasila tersebut dapat divisualisasikan dalam sebuah diagram.
Dewasa ini terdapat cukup banyak kerangka konseptual sebagian di antaranya sudah merupakan program dan komitmen pemerintah Republik Indonesia serta wawasan baru dari kalangan terpelajar sendiri untuk menindaklanjuti sila kelima ini ke dalam kenyataan, seperti Millenium Development Goals 2015, Prakarsa Pembangunan Manusia Indonesia (PPMI), Corporate Social Reponsibility, serta Kybernologi.
Ringkasnya, ambiguitas dan ambivalensi terhadap Pancasila dapat diakhiri dengan mengembangkan sebuah paradigma fungsional terhadap Pancasila, yang berujung pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan yang harus diwujudkan serta sebagai benchmark yang harus digunakan untuk mengukur kinerja pemerintahan pada umumnya serta kinerja presiden dan wakil presiden pada khususnya.

DAFTAR BACAAN

UUD 1945 dengan Amandemen.

Notonagoro; “Dasar Falsafah Negara”; Pantjuran Tudjuh; Jakarta; 1974.

Pranarka, Anthonius Moerdyanto Wignyo; “Sejarah Perkembangan Pemikiran Tentang Pancasila Sebagai Ideologi, Dasar Negara Dan Sumber Hukum”; PT Citra Aditya Bakti; Bandung; 1994.

Purbopranoto, Kuntjoro; “Pancasila Sebagai Dasar Negara”; Gunung Agung; Jakarta; 1984.

Http://www.Hukumonline.com/rubrik_hukumpancasila//

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hay,,,, pten


 
 
..:: Perhatian !! terima kasih atas kunjungannya ^_^ silahkah berkunjung lagi di lain waktu ::..