Jumat, 23 Juli 2010

Orang Tua Cermin Anak

Bookmark and Share
Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi disana. Setiap anak mendapat peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang mereka perankan. Semuanya tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas.
Di depan panggung, semua orangtua murid ikut hadir dan menyemarakan acara itu.
Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.
Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam Komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka, dan mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.
Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha…. ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarah-lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin. Mereka bangga.
Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya kepada sang “jagoan”, Nak,kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak heran jika kamu terpilih menjadi anak yang terbaik…” tanya Pak Guru. “Coba kamu ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini…”
Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada Ayah saya di rumah. Karena, dari Ayah-lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah-lah saya meniru prilaku ini. Ayah sering berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah seperti Ayah.”
Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai melanjutkan, “…Ayah membesarkan saya dengan cara sperti ini, jadi peran ini, adalah yang mudah buat saya…”
Senyap. Usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap.
Begitupun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnya mereka merasa bangga, kini keadaanya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.
»»  Baca Selengkapnya...

Lima Menit Lagi

Bookmark and Share
Sore hari di sebuah taman di West Coast Park, Singapura, di taman itu sedang ramai anak-anak yang asyik bermain, ditemani oleh orang tua mereka, Nampak terjadi diskusi yang hangat antara seorang ibu dengan seorang bapak, yang sedang asyik memperhatikan anak-anak mereka bermain.
“Tuh.., itu putraku yang di situ,” kata seorang ibu, sambil menunjuk ke arah seorang anak kecil dengan T-shirt merah yang sedang meluncur turun diperosotan. Mata ibu itu berbinar, bangga diiringi dengan senyuman.
“Wah, aktif sekali bocah itu,” kata bapak di sebelahnya.
“Lihat anak yang sedang main ayunan di bandulan pakai T-shirt biru itu? Dia anakku,” sambungnya, memperkenalkan anaknya.
Lalu, sambil melihat arloji, ia memanggil putranya. “Ayo Jack, gimana kalau kita pulang sekarang, waktu sudah sore”, sambil memperhatikan jam tangan di tangan kirinya.
Jack, bocah kecil itu kemudian menghampiri sang ayah, dan dengan setengah memelas, berkata, “Kalau lima menit lagi,boleh ya, Yahhh? Sebentar lagi Ayah, boleh kan? Cuma tambah lima menit kok,yaaa…?”
Sambil melepaskan senyum terbaiknya, pria itu mengangguk dan Jack meneruskan main ayunan untuk memuaskan hatinya.
Menit demi menit berlalu, sang ayah berdiri kembali, memanggil anaknya lagi. “Ayo, ayo, sudah waktunya pulang”
Lagi-lagi Jack memohon, “Ayah, lima menit lagi ya…. Cuma lima menit kok, ya? Boleh ya, Yah?” pintanya sambil menggaruk-garuk kepalanya, dan dengan meneruskan keasyikannya bermain.
Pria itu bersenyum dan berkata, “OK-lah, silahkan…”
“Wah, bapak pasti seorang ayah yang sabar,” ucap ibu yang di sampingnya, melihat adegan itu, tersenyum senang dengan sikap lelaki itu.
Pria itu membalas senyum, lalu berkata, “Putraku yang lebih tua, John, tahun lalu wafat selagi bersepeda di dekat sini, oleh sopir yang mabuk.
Tahu tidak, aku tak pernah memberikan cukup waktu untuk bersama John. Sekarang apa pun ingin kuberikan demi Jack, asal saja saya bisa bersamanya biar pun hanya untuk lima menit lagi.
Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi terhadap Jack. Ia pikir, ia dapat lima menit ekstra tambahan untuk berayun, untuk terus bermain. Padahal, sebenarnya, sayalah yang memperoleh tambahan lima menit memandangi dia bermain, menikmati kebersamaan bersama dia, menikmati tawa renyah-bahagianya….”

Renungan :

Hidup ini bukanlah suatu lomba.
Hidup ialah masalah membuat prioritas.
Prioritas apa yang Anda miliki saat ini?
Berikanlah pada seseorang yang kaukasihi,
lima menit saja dari waktumu, dan engkau
pastilah tidak akan menyesal selamanya.
»»  Baca Selengkapnya...

Kamis, 08 Juli 2010

Perjalanan Bahasa Indonesia Menuju Bahasa Dunia

Bookmark and Share
Jika Bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah, sangat mungkin para pakar bahasa (Indonesia) dan Pusat Bahasa, akan menghadapi tembok besar kegagalan. Bukankah salah satu syarat sebuah bahasa menjadi bahasa resmi PBB ditentukan oleh klaim bahwa bahasa itu telah menjadi bahasa negara, bukan bahasa daerah. Jika yang diusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa Nusantara, kendalanya sama saja, lantaran ia bukan sebagai bahasa negara. Jadi, yang diusulkan sebagai bahasa resmi PBB hendaklah bahasa negara, dan itu tidak lain adalah bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan beberapa negara ASEAN lainnya akan mendukung usulan itu?

Untuk melihat sejauh mana kemungkinan bahasa Indonesia dapat diterima sebagai bahasa resmi PBB, berikut ini akan dipaparkan argumen yang melandasinya, baik dilihat dari aspek kesejarahan, linguistik, maupun luas penyebarannya. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita menengok ke belakang pada sejarah perkembangan bahasa Indonesia.

Salah satu hasil Kongres Bahasa Indonesia II, di Medan tahun 1954, adalah disepakatinya pembentukan suatu badan yang khusus menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia. Alasannya, bahwa Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik yang ditetapkan tahun 1947, perlu disederhanakan dan disempurnakan lagi. Badan tersebut baru terbentuk tahun 1956. Setahun kemudian, berhasil dirumuskan patokan-patokan baru Ejaan Bahasa Indonesia yang terkenal dengan nama Ejaan Pembaharuan.

Belum sempat ejaan ini diresmikan, Persekutuan Tanah Melayu, yakni Malaysia dan sekitarnya, mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna membentuk penyeragaman sistem ejaan kedua negara. Hasilnya adalah konsep Ejaan Melayu-Indonesia. Lalu terkenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Konsep ini pun, belum sempat diresmikan, lantaran kedua belah pihak terlibat konfrontasi.

Memasuki zaman Orde Baru, baik Indonesia maupun Malaysia menyadari bahwa sesungguhnya perselisihan antar-bangsa, terutama antar-negara bertetangga, tidaklah mendatangkan manfaat. Lalu, hubungan kedua negara pun dijalin kembali. Sebagai realisasi bentuk persahabatan itu, Ejaan Melindo yang pernah disepakati, dihidupkan kembali. Lahirlah Ejaan Baru tahun 1966.

Entah bagaimana pasalnya, ejaan yang terakhir ini pun tidak sempat diresmikan. Sementara itu, perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat, menuntut perlunya penyempurnaan ejaan dengan segera. Maka atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain, perlunya penyesuaian ejaan Bahasa Indonesia dengan perkembangannya, ketertiban cara penulisan, usaha pembakuan Bahasa Indonesia secara menyeluruh, serta usaha pengembangannya, keluarlah Surat Keputusan Presiden Soeharto No 57 tentang peresmian berlakunya “Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan”.

Keputusan tersebut, tentulah tidak hanya atas pertimbangan segi kebahasaan semata-mata, melainkan juga ada sejumlah faktor lain yang tak dapat diabaikan. Dalam hubungannya dengan masalah itulah, kita akan melihat betapa tepat dan pentingnya pembakuan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhannya. Lebih jauh lagi sebagai upaya untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

Faktor Kesejarahan

Dalam perjalanan bahasa Indonesia sampai sekarang, yakni sejak dicetuskan pertama kali dalam butiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, pedoman ejaan Bahasa Indonesia secara resmi baru dua kali mengalami perubahan. Pertama, melalui Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, tanggal 19 Maret 1947, yang disusul dengan Surat Keputusan No 345/Bhg A, 15 April 1947. Kedua, Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 7/U/1972, Mashuri, yang kemudian diresmikan pemakaiannya melalui Surat Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

Sebelum Ejaan Soewandi, pedoman ejaan waktu itu masih menggunakan ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini bersumber dari buku yang berjudul Kitab Logat Melajoe hasil penyusunan Charles Adriaan van Ophuijsen dibantu oleh Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma’moen dan Moehamad Ta’ib Soetan Ibrahim. Konsepnya sendiri sebenarnya dimulai tahun 1896, setahun sebelum AA Fokker mengusulkan penyeragaman ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin. Namun baru diundangkan secara resmi oleh pemerintah Belanda tahun 1901.

Mengingat latar belakang diberlakukannya Ejaan van Ophuijsen, tindakan tersebut cukup punya arti penting bagi perjalanan Bahasa Melayu selanjutnya. Waktu itu, pengaruh Islam di wilayah Nusantara yang amat kuat, menyangkut juga soal bahasa. Masyarakat di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, sudah terbiasa menggunakan huruf Arab-Melayu (huruf Jawi atau Pegon—bahasa Melayu dengan huruf Arab). Begitu juga di Pulau Jawa, bahasa daerah setempat banyak juga yang memakai huruf Pegon.

Di samping itu, jauh sebelum bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca bagi penduduk di kepualauan ini. Bahkan perhubungan dengan para pedagang asing seperti India, Arab, Cina, Portugis, dan Persia, juga menggunakan Bahasa Melayu. Dengan sendirinya, di beberapa daerah muncul dialek-dialek Melayu. Kosakata, ejaan, maupun struktur bahasa Melayu, jadi beragam.

Sungguhpun demikian, dialek Melayu Riau yang biasa digunakan oleh para sultan di kepulauan itu, tetap dianggap sebagai Bahasa Melayu Tinggi. Dengan kata lain, Bahasa Melayu yang dianggap standar dan baku waktu itu adalah Bahasa Melayu dialek Riau. Dialek itulah yang kemudian dijadikan model bagi van Ophuijsen dan dua rekannya untuk menyusun pedoman ejaan Bahasa Melayu.

Maka sejak tahun 1901, perkembangan Bahasa Melayu harus berpatokan pada pedoman Ejaan van Ophuijsen, yang pada hakikatnya berlandaskan pada Bahasa Melayu dialek Riau. Semua kosakata yang berasal dari bahasa asing —Cina, Arab, India, Inggris, Portugis, dan Belanda— serta yang berasal dari daerah-daerah di kawasan Nusantara, harus disesuaikan dengan ejaan Bahasa Melayu.

Perkembangan yang amat menonjol ditandai dengan berdirinya Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat), 14 September 1908, kurang dari empat bulan setelah lahir Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Buku-buku yang diterbitkan komisi ini diseleksi secara ketat. Tidak hanya isinya yang harus sejalan dengan garis politik kolonial Belanda, tetapi juga harus menggunakan Bahasa Melayu tinggi sesuai dengan Ejaan van Ophuijsen.

Pada tahun 1917, komisi ini berganti nama menjadi Kantor Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Penggantian nama ini, sama sekali tidak mengubah kebijaksanaan sebelumnya. Kaidah-kaidah kebahasaan tetap berpedoman pada Ejaan van Ophuijsen. Di balik itu, para pemuda terpelajar kita makin merasakan pentingnya mempunyai bahasa sendiri. Emosi kebangsaan mereka makin menggelora. Sampai puncaknya, pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah membulat tekadnya, “Bertanah airyang satu —Indonesia, berbangsa yang satu— Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.”

Ikrar para pemuda itu, pada awalnya bersifat politis, namun sesungguhnya dalam perkembangannya benar-benar telah mampu meleburkan persoalan suku, adat, ras, dan agama. Kepentingan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari kepentingan lainnya. Dengan demikian, tekad untuk mengusir penjajah, serta hasrat untuk membentuk negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, nyata sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Melihat Kelemahan

Dalam persoalan bahasa, para pemuda terpelajar kita mulai melihat adanya beberapa kelemahan yang terdapat dalam Ejaan van Ophuijsen. Khususnya ketidakcocokan konsep gramatika Belanda dan Arab yang diterapkan dalam Bahasa Melayu. Fonem-fonem asing seperti ain, hamzah, ch, sj, oe, dl, dan ts, seringkali menimbulkan cara penulisan dan pembacaan yang keliru. Lantaran itulah, dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25—28 Juni 1938, diputuskan perlunya ejaan baru, di samping gagasan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan Ejaan van Ophuijsen.

Ternyata, tindak lanjutnya baru dilakukan dua tahun setelah Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa negara yang tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, 19 Maret dan 15 April 1947, mencanangkan penggantian Ejaan van Ophuijsen dengan Ejaan Republik.

Beberapa perubahan yang dilakukan, antara lain, digantinya fonem oe menjadi u, bunyi vokal e (E) dan e (e) diwakili oleh satu fonem e serta ucapan kata-kata asing atau pinjaman yang disesuaikan dengan cara pengucapan bahasa Indonesia. Namun, bentuk kata yang diulang masih dibolehkan memakai angka dua (2). Hal ini tentu saja dapat mengacaukan dengan kata ulang atau reduplikasi, seperti kupu-kupu, paru-paru, biri-biri, dan banyak lagi reduplikasi yang sebenarnya bukan merupakan kata yang diulang.
Sejumlah kelemahan yang terkandung dalam Ejaan Soewandi, dikecam cukup pedas oleh Prof Dr Prijono. Menurutnya, Ejaan Soewandi tidak lebih dari “pindah tulis” dan bentuk lain dari Ejaan van Ophuijsen. Lalu dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 23 Oktober—2 November 1954, mulailah Ejaan Soewandi “ditinjau” kembali.

Setelah tersusun konsep Ejaan Pembaharuan atau yang dikenal juga dengan nama Ejaan Prijono—Katoppo, Persekutuan Tanah Melayu mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna menyusun pedoman ejaan bagi kedua negara itu. Namun batal diresmikan karena terjadi konfrontasi. Baru kemudian dihidupkan kembali lewat pertemuan di Kuala Lumpur 21—23 Juni 1967, dengan nama Ejaan Baru Bahasa Indonesia untuk Indonesia dan Ejaan Baru Bahasa Melayu untuk Malaysia.

Sebenarnya, konsep ejaan ini bertumpu pada konsep hasil penyusunan Panitia Crash Program Ejaan Bahasa Indonesia LBK, Agustus 1966. Panitia yang diketuai oleh Anton M Moeliono ini, mendasari konsepnya atas konsep Ejaan Pembaharuan tahun 1957, dan Ejaan Melindo tahun 1959, serta berpegang pada prinsip “satu fonem, satu tanda”.

Hambatan utama terlaksananya hasil rumusan panitia tersebut, sebenarnya lebih menyangkut soal pembiayaan daripada soal kebahasaan. Maka atas berbagai pertimbangan, rumusan itu mengalami beberapa perubahan lagi. Sampai kemudian, keluarlah keputusan yang memberlakukan Ejaan Yang Disempurnakan, 17 Agustus 1972.

Menuju Bahasa Dunia

Pada masa awal diberlakukannya EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan), reaksi timbul dari berbagai kalangan. Yang tidak setuju, umumnya melihat dari segi pembiayaan semata-mata. Sedangkan yang setuju, melihatnya jauh ke depan. Sesungguhnya, Keputusan Presiden No 57 itu ibarat langkah yang tidak hanya hendak mengokohkan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, melainkan juga upaya mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN dan bahasa dunia.



Dalam lingkup ASEAN, tampaknya Filipina dan Muangthai saja yang mungkin masih merasakan beberapa hambatan. Sungguhpun demikian, berdasarkan unsur kekerabatan, korespondensi fonemis, faktor geografis, struktur gramatika, maupun unsur kebahasaan lainnya, bahasa Tagalog di Filipina dan bahasa Siam di Muangthai, mempunyai hubungan yang erat dengan Bahasa Melayu yang merupakan asal dan dasar Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan Bahasa Cham di Kamboja.

Apabila kita membandingkan sejumlah kosa kata yang terdapat di negara-negara tersebut —seperti yang dilakukan Gorys Keraf dalam bukunya, Linguistik Historis Komparatif— kita akan mendapatkan bukti kuat, bahwa bahasa-bahasa di kawasan Asia Tenggara (rumpun bahasa Austronesia) sebenarnya masih satu keluarga bahasa yang sama. Kita tak perlu heran, jika orang Filipina berkata ku:lang (kurang), ilung (hidung), dan bu’guk (buruk). Pendeknya, bahasa Tagalog dengan Bahasa Melayu umumnya mempunyai bentuk dan bunyi yang mirip, bahkan sama.

Bukti lain dapat kita lihat dari hasil penelitian Dr H Kern tahun 1889. Ia membandingkan sejumlah kata dari 100 bahasa yang tersebar dari Malagasi sampai Amerika Selatan. Kesimpulannya, mustahil jika kesamaan bunyi dan bentuk dari nama-nama tumbuh-tumbuhan dan binatang yang terdapat di kawasannya, terjadi secara kebetulan. Artinya, dapat dilacak lebih jauh adanya hubungan kerabat dari satu nenek moyang atau protobahasa yang sama.

Jadi jelas, Bahasa Melayu bagi negara-negara ASEAN, sesungguhnya dapat pula mempererat hubungan antar-negara bertetangga ini. Malaysia, Singapura, dan Brunei, bahkan juga di Muangthai (khasnya Patani) dan Filipina (khasnya Mindanau), menyadari hal itu. Malaysia menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Demikian juga Brunei Darussalam sejak tahun 1959 —sebagaimana yang dinyatakan Pangeran Badaruddin— “bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa resmi dan mesti digunakan di dalam segala bidang.”

Bagi Indonesia, persoalan tentu tidak semata-mata menjadikan bahasa Melayu (baca: Indonesia) sebagai bahasa resmi ASEAN, tetapi juga sebagai bahasa resmi dunia, seperti juga bahasa Inggris atau Perancis. Dan syarat-syarat untuk itu, memang sudah dimiliki Bahasa Indonesia. Antara lain, Bahasa Indonesia merupakan lingua franca bagi lebih dari 136 juta penduduk, bentuk dan strukturnya mudah dipelajari dan sederhana, bentuk tulisan dan ujaran tidak mengandung banyak perbedaan, menyerap secara bebas unsur dan istilah bahasa asing, mampu digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta merupakan mata ajaran wajib di semua tingkatan sekolah.

Lebih dari itu, bahasa Indonesia juga sudah diajarkan di banyak perguruan tinggi negara-negara sahabat. Tokyo, Seoul, Beijing, Melbourne, Canberra, Cornel, Yale, Mokow, Paris, Praha, Leiden, Warsawa, Berlin, Mesir, dan banyak lagi universitas di luar negeri yang membuka jurusan tersendiri tentang bahasa dan kesusastraan Indonesia. Paling sedikit, memberikan mata ajaran Bahasa Indonesia. Ini merupakan satu indikasi, betapa Bahasa Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi bahasa resmi internasional.

Melihat kenyataan tersebut, tidaklah sepatutnya jika masih ada suara sumbang yang meremehkan peran Bahasa Indonesia. Tidak patut pula jika kita tidak bangga pada bahasa sendiri. Dalam menyikapi perkembangan zaman dan arus globalisasi, peran bahasa Indonesia tentu berlainan dengan waktu pertama kali dicanangkan dalam ikrar Sumpah Pemuda. Jika dulu mampu berperan sebagai alat persatuan dan kesatuan bangsa, maka kini, mampukah ia mengangkat citra keagungan bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, gagasan untuk menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia atau bahasa resmi PBB sesungguhnya lebih terterima dibandingkan dengan Bahasa Melayu. Semoga saja harapan ini menjadi kenyataan.
 
»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 02 Juli 2010

Award Pertama-ku

Bookmark and Share

setelah berjalan jauh ke sana-kemari, akhirnya aku dapet award juga,, heheee
Terima kasih kepada sobatQ allie yang telah memberikan award berbacklink ini pertama kalinya untuk blog ane yang keren. aQ senang banget dapatkan award ini. Award ini akan saya bagikan lagi kepada 10 teman baek aq diantaranya :
  1. lia
  2. myna
  3. sakura
  4. astho
  5. colorfullife
  6. halimah
  7. blog cbox
  8. hermes
  9. cheqna
  10. echa

Aturan Main:
Bagi siapa saja yang menerima award ini diharuskan untuk membagikan kembali award ini kepada sepuluh orang temannya. Selanjutnya, si penerima award harus meletakkan link-link berikut ini di blog atau artikel masing-masing:
  1. Perawatan AC 
  2. Dunia Komputer 
  3. Ngeposting ni yee 
  4. Hidup Ini Indah 
  5. Tips Dan trik blogger 
  6. Rumah Curhat  
  7. Khamardos 
  8. Kreatif148  
  9. blacklight
  10. DuniaKu

Sebelum teman-teman meletakkan link-link di atas, hapus terlebih dahulu peserta nomor 1 dari daftar. Sehingga semua peserta naik 1 level. Peserta nomor 2 menjadi nomor 1, nomor 3 jadi 2, dst. Kemudian masukkan link Anda sendiri di bagian paling bawah (nomor 10). Tapi ingat...!!!, kalian semua harus adil dalam menjalankannya. Jika tiap penerima award mampu memberikan award ini kepada 5 orang saja dan mereka semua mengerjakannya , maka jumlah backlink yang akan didapat adalah:


Ketika posisi kamu 10, jumlah backlink = 1
Posisi 9, jumlah backlink = 5
Posisi 8, jumlah backlink = 25
Posisi 7, jumlah backlink = 125
Posisi 6, jumlah backlink = 625
Posisi 5, jumlah backlink = 3,125
Posisi 4, jumlah backlink = 15,625
Posisi 3, jumlah backlink = 78,125
Posisi 2, jumlah backlink = 390,625
Posisi 1, jumlah backlink = 1,953,125

Dan semuanya menggunakan kata kunci yang sObat inginkan. Dari sisi SEO (Search Engine Optimation) sobat sudah mendapatkan 1,953,125 backlink dan keuntungannya, blog sobat akan mendapatkan traffic tambahan, apalagi jika ada yang meng-klik link ke blog sobat. Jadi, jangan sia-siakan award ini ya sobat ! 
»»  Baca Selengkapnya...

Kamis, 01 Juli 2010

Hoegeng: Sang Legenda Kepolisian

Bookmark and Share
Hoegeng Imam Santoso (1921-2004), mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor, ini dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dia simbol keteladanan dan kejujuran Polri. Jenderal Polisi (Purn) lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952), kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30 WIB.

Sebelumnya, sejak 13 Mei 2004, dia dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati, Jakarta akibat mengalami stroke, penyumbatan saluran pembuluh jantung dan pendarahan bagian lambung. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Kompleks Pesona Kahyangan, Jl Margonda Raya Blok DH-I Pancoran Mas, Depok.

Kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giritama, Desa Tonjo, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu siang 14 Juli 2004. Menurut Aditya Soetanto, putera keduanya, “Ayah meminta dimakamkan di TPu bukan di Taman Makam Pahlawan.” Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar dan pimpinan Polri lainnya turut menghadiri acara pemakaman.
Di tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Hoegeng dan polisi tidur.

Ia memang seorang pejabat (polisi) yang senantiasa hidup jujur dan bersahaja. Ia pantas diteladani. Ia simbol kejujuran dan keteladanan bukan hanya bagi kepolisian dan seluruh jajaran birokrasi, tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat.

Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Walau kemudian, setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana pengendara sepeda motor menjadi sadar betapa pentingnya memakai helm.

Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan oleh Presiden Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun.

Bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang buktinya di Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan. Namun karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto. Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu tengah berbincang- bincang dengan Soeharto. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden Soeharto.

Dia merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Walaupun alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan siapa penggantinya, Soeharto menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih tua darinya.

Dia seorang polisi yang jujur dan bersih dari korupsi. Terbukti, memasuki masa pensiun, ia tidak punya simpanan apa pun. Untunglah para kerabatnya menghadiahinya rumah dan mobil, tanpa diminta. Saat memasuki pensiun itu, ia pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolak karena merasa tidak cocok, dan lebih suka tinggal di negeri sendiri.

Lalu, ia pun menghabiskan hari-harinya dengan melukis dan bermain musik. Dia memang menyukai musik irama Lautan Teduh sejak muda. Maka setelah pensiun dia bersama istri dan rekan- rekannya mendirikan grup musik The Hawaiian Senior, 1975. Mereka sering tampil di layar TVRI dalam acara Gema Irama Lautan Teduh. Acara itu kemudian dilarang pemerintah sebab dianggap bukan musik Indonesia.

Namun banyak orang beranggapan alasan sesungguhnya pelarangan itu adalah karena sejak Juni 1978, Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas inisiatif AH Nasution dan Proklamator Mohammad Hatta sebagai penasihat. LKB itu bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional.

Ia pun terpaksa meninggalkan hobi menyanyi itu. Kemudian sejak Mei 1980, ia bergabung dalam kelompok lima puluh warga negara RI, antara lain Mohammad Natsir, AH Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw, yang menandatangani “Pernyataan Keprihatinan” terhadap cara penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian populer disebut “Petisi 50″.

Mantan Menteri Iuran Negara (1966-1967), itu tak hanya ikut menandatangani, tetapi terlibat aktif dalam Kelompok Kerja Petisi 50, yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang didirikan Yayasan LKB. Dia rajin menghadiri pertemuan mingguan yang berlangsung di kediaman Ali Sadikin, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat.

Orang yang sangat disiplin soal waktu ini lulus HIS di Pekalongan 1934, MULO di Pekalongan 1937, dan AMS (setingkat SMA) Yogyakarta 1940. Dia sempat kuliah di RHS (Recht Hoge School - Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (Jakarta) 1942, namun tidak sempat selesai karena Jepang mnyerbu Hindia Belanda dan memaksanya pulang ke Pekalongan.

Di kota kelahirannya itu ia mengecap pendidikan polisi Leeterling Hoofdagent Van Politie (Pendidikan Ajun Inspektur Polisi) tahun1943. Kemudian mengikuti pendidikan Koto Keitsatsu Gakko (Sekolah Tinggi Polisi) di Sukabumi (1944), Provost Marshall General School, AS (1950), PTIK (1952) dan Pendidikan Brimob, Porong (1959).

Dia memulai karier sebagai agen polisi. Kemudian ia menjabat Kapolsek Jomblang, Semarang (1945), Kepala DPKN, Surabaya (1952-1955), dan Kepala Reskrim Sumatera Utara, Medan (1955-1959).

Lalu sempat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965). Kemudian, diangkat Presiden Soekarno menjabat Menteri Iuran Negara (1966-1967) dalam kabinet yang disebut Kabinet Seratus Menteri. Kemudian diangkat sebagai Deputi Operasi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) tahun1967-1968. Dalam buku “Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan”, karya Abrar Yusra dan Ramadhan KH, terbitan Pustaka Sinar Harapan 1993, disebutkan, pengangkatan menteri itu adalah atas usulan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Pada 1 Mei 1968, pangkatnya naik sebagai Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi atau bintang tiga, dan dua minggu berikutnya (15 Mei 1968) dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI (jabatan Kapolri saat ini) dengan Inspektur Upacara Jenderal Soeharto.Dia menjabat Kapolri tahun 1968-1971.

Ada kisah menarik ketika Presiden Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (Direktur Jenderal Imigrasi). Sehari sebelum pelantikan, ia meminta isterinya, Merry (Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di Jalan Cikini. Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi.

“Apa hubungan dengan toko kembang?” tanya isterinya.

“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng. Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya.

Saat dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas baru karena mobil jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara dirasa sudah cukup baginya.
Begitu juga ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah dari rumah pribadi di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Permintaan pindah rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan.

Dia telah menerima banyak tanda jasa, antara lain, Bintang (BT) Gerilya, BT Dharma, BT Bhayangkara, BT Kartika Eka Paksi Tingkat I, BT Jasasena, Swa Buawa, Panglima Setya Kota, Sapta Marga, Prasetya Pancawarsa, Satya Dasawarasa, Yana Utama, Penegak dan Ksatria Tamtama. Ia juga dianugerahi LBH Award, saat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu memperingati HUT 32 tahun.

Perihal asal-usul namanya, Hoegeng. Semasa kecil, ia biasa dipanggil ‘Bugel’ karena badannya tambun. Kemudian menjadi ‘Bugeng’ dan akhirnya menjadi Hoegeng sampai akhir hayatnya. Ayahnya, Sukarjo Karjohatmojo, seorang hoofd Jaksa, yang memeiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Sang Ayah sengaja mendirikan rumah untuk orang-orang miskin dan telantar. Hoegeng kecil sering diajak ayahnya ke rumah penampungan orang terlantar itu. Saat itu, Sang Ayah membisikkan, ”Kelak, bila kau jadi orang berpangkat dan berkuasa, ingatlah: kekuasaan itu laksana pedang bermata dua.”

Pria yang menikahi Marie Roselina, dikaruniai tiga anak yakni Reni Soeryanti, Aditya Soetanto dan Sri Pamujining Rahayu, ini setelah pensiun, selain melukis, ia tercatat sebagai anggota ORARI. Ia juga seorang tokoh yang dalam keadaan sulit berada di depan untuk menegakkan demokrasi dan kejujuran. Saat banyak tokoh masih manggut-manggut kepada kekuasaan otoriter, ia maju ke depan menyuarakan demokrasi dan kebenaran. Sampai akhir hayatnya, ia tetap teguh pada prinsip dan menjadi teladan bagi semua anak bangsa, khususnya bagi Kepolisian Republik Indonesia.
»»  Baca Selengkapnya...

 
 
..:: Perhatian !! terima kasih atas kunjungannya ^_^ silahkah berkunjung lagi di lain waktu ::..