Jumat, 21 Mei 2010

DASPROS PEMBELAJARAN MATEMATIKA I

Bookmark and Share
Bagian 1
PENDAHULUAN

Sampai sekarang, dunia pendidikan matematika masih memiliki berbagai masalah. Dua masalah yang amat besar dan amat penting, adalah sebagai berikut. Pertama, sampai sekarang pelajaran matematika di sekolah masih dianggap merupakan pelajaran yang menakutkan bagi banyak siswa, antara lain karena bagi banyak siswa pelajaran matematika terasa sukar dan tidak menarik. Kedua, sekalipun dalam banyak kesempatan sering dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, termasuk bagi kehidupan sehari-hari, banyak orang belum bisa merasakan manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari mereka di luar beberapa cabang matematika tertentu yang memberikan pengetahuan dan ketrampilan praktis seperti berhitung, statistika dan geometri.

Karena adanya dua masalah tersebut, banyak siswa menjadi kurang termotivasi dalam mempelajari matematika. Selain itu, adanya dua masalah tersebut juga menyebabkan pendidikan matematika di sekolah kurang memberikan sumbangan yang berarti bagi pendidikan anak secara keseluruhan, baik bagi pengembangan kemampuan berpikir, bagi pembentukan sikap, maupun pengembangan kepribadian secara keseluruhan. Sebagai contoh, dalam bidang kemampuan berpikir kreatif atau meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, yang banyak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bidang pembentukan sikap, pendidikan matematika di sekolah belum bisa menumbuhkan sikap menghargai matematika sebagai ilmu yang sangat berguna bagi umat manusia pada diri para siswa. Dalam bidang pengembangan kepribadian, pendidikan matematika di sekolah belum mampu mengembangkan pribadi-pribadi siswa menjadi pribadi-pribadi yang mampu mengambil keputusan mengenai apa yag paling baik bagi dirinya, bersifat jujur, dan berani bertanggung jawab terhadap segala hal yang telah dilakukan atau diucapkan. Sehingga banyak siswa menempuh pelajaran matematika melulu karena hal itu diharuskan oleh sistem yang ada, sesuai dengan kurikulum.

Dengan situasi seperti itu, pendidikan matematika di sekolah, dan pendidikan formal pada umumnya, cenderung menghasilkan lulusan yang mempunyai banyak pengetahuan (khususnya pengetahuan faktual), tetapi miskin dalam kemampuan berpikir, dan miskin dalam hal kepribadian, termasuk berjiwa penakut, kurang berani mengambil keputusan, dan kurang berani bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan.

Padahal, dalam dunia yang semakin kompleks ini, pada diri setiap orang semakin dituntut adanya kemampuan berpikir yang tinggi dan kreatif, kepribadian yang jujur dan mandiri (berjiwa independen), dan sikap yang responsif terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di lingkungannya atau di dalam masyarakat (NCTM, 1989; National Research Council, 1989). Hal ini berlaku di banyak negara, termasuk Indonesia, terlebih-lebih dalam era sekarang ini, di mana demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan otonomi dalam berbagai tataran (individu, kelompok, masyarakat, dan daerah) semakin dianggap penting.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang perlu dilakukan agar pembelajaran matematika di sekolah dapat memotivasi siswa untuk belajar matematika dan mampu mendidik para siswa sehingga mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang yang mampu berpikir secara mandiri dan kreatif, berkepribadian mandiri, dan mempunyai kemampuan dan keberanian dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan mereka? Jika pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita dapat mengupayakan terbentuknya siswa dengan karakteristik seperti itu, berarti pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita telah memberikan sumbangan yang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Kalau dicermati secara seksama, nampak bahwa pada kurikulum tahun 1994 dan kurikulum sebelumnya, tujuan pendidikan matematika yang diarahkan bagi perkembangan potensi siswa secara keseluruhan belum dirancang secara sengaja. Artinya, pengembangan kemampuan berpikir, pembentukan sikap, pengembangan kepribadian termasuk pengembangan kecakapan hidup belum dipersiapkan secara terencana dalam pembelajaran yang terjadi di kelas.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Salah satu kemungkinan penyebab adalah karena amanat yang diberikan kurikulum pada tingkat implementasi seolah hanya berhenti sebagai jargon-jargon kosong tanpa makna. Paradigma pembelajaran matematika yang diikuti juga tidak mendukung ke arah tersebut. Sehingga tak dapat dipungkiri dengan situasi tersebut, pendidikan matematika di sekolah, dan pendidikan formal pada umumnya, cenderung menghasilkan lulusan yang banyak pengetahuan (khususnya pengetahuan faktual), tetapi kurang dalam kemampuan berpikir, dalam hal kepribadian, termasuk berjiwa penakut, kurang berani berpendapat, kurang berani mengkomunikasikan pemikirannya dan kurang berani mengambil keputusan, kurang berani bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan.

Kurikulum baru yang berbasis kompetensi akan “bernasib sama” dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya jika antara lain: tidak “dikawal” dengan paradigma pembelajaran yang tepat dan tidak ditangani oleh guru-guru yang profesional dan berpikiran inovatif. Guru yang tidak “alergi” dan tidak mengedepankan sikap skeptis terhadap adanya perubahan dan kemajuan, termasuk perubahan dalam paradigma pembelajaran matematika.
»»  Baca Selengkapnya...

Asyiknya Matematika!

Bookmark and Share
Asyiknya Matematika!

Banyak anak "alergi" matematika. Ada lho, cara memperkenalkan matematika pada balita secara menyenangkan.

Mengapa ya, banyak anak "takut" pada matematika? Padahal, jika mereka menguasainya dengan baik, mata pelajaran ini bisa sangat fun, lho. Saat ini, mulai banyak orangtua memperkenalkan matematika sejak dini kepada putera-puterinya. Mereka berharap, dengan mengenal lebih baik, dan menyenangkan, kelak anaknya tidak "alergi" pada pelajaran berhitung ini. Bahkan, bisa bersahabat alias jago matematika.

Menurut Konsultan Psikologi di Essa Consulting, Yunita P. Sakul Psi., idealnya, pengenalan matematika dimulai sejak usia sekolah dasar. Tetapi, karena sekarang banyak Taman Kanak-kanak mengharapkan anak didiknya menguasai berhitung. Atau, setidaknya mengerti
satu ditambah satu hasilnya dua (hitungan sederhana), tidak ada salahnya memperkenalkan matematika pada anak-anak usia pra-sekolah dan TK. Hanya saja, sebaiknya konsep pengenalan pada usia tersebut belum kongkrit. Misal, bagi balita cukup dengan belajar membandingkan ukuran seperti "besar", "kecil", "lebih besar", "lebih kecil" (pre-operasional). Sedangkan pada usia TK sudah boleh masuk ke pengenalan angka, seperti 1, 2, 3 sampai 10 (kongkrit).

Matematika Balita Harus Kongkrit
Matematika jadi menakutkan bagi anak, menurut Yunita, kerapkali karena harapan orangtua kepada anak untuk memperoleh nilai tinggi pada pelajaran ini, sangat besar. "Di masyarakat kita masih berlaku ketentuan, kalau pandai matematika, berarti pandai. Tetapi kalau tidak pandai matematika, meski hebat dalam pelajaran lain, tetap saja tidak pandai," ujarnya.

Selain itu, kalau anak mendapat nilai kecil untuk matematika, biasanya orangtua "kebakaran jenggot". Coba kalau nilai kecil dalam pelajaran olahraga, kesenian, atau PMP, ayah-ibu tidak terlalu pusing, tuh. Jadi, matematika memang "dianakemaskan" ketimbang pelajaran lain. Terang saja anak jadi grogi belajar matematika.

"Tetapi okey-lah, kalau ingin anak pandai matematika, sebenarnya ia bisa dipersiapkan. Hanya saja, pastikan dulu kalau Si Kecil memang berminat belajar matematika. Orangtua jangan kelewat memaksakan dan menuntut, karena nanti anak bisa kehilangan minat dan takut. Apalagi kalau ia diharap buru-buru pintar," saran Yunita.

Selain itu, untuk memperkenalkan balita pada matematika, orangtua (atau guru) harus memastikan anak mengerti konsep matematika. "Maksudnya, sebelum anak tahu berapa 1 + 1, ia anak harus tahu dahulu "banyak" itu berarti "lebih besar" berarti "ditambah". Sedangkan "sedikit" itu "lebih kecil" berarti "dikurang".

Terlalu dinikah mengajarkan matematika pada balita? Memangnya otaknya sudah bisa menangkap? Menurut Yunita, untuk matematika yang bersifat abstrak, memang balita belum bisa memahami. Tetapi untuk yang kongkrit-kongkrit (nyata - Red), sebetulnya mereka sudah siap belajar, kok. Jadi, perkenalkan saja matematika disesuaikan dengan kemampuan balita yang berbeda satu dengan yang lain. "Kita tidak boleh menyamaratakan cara mengajarkan matematika pada anak. Carilah cara yang sesuai dengan tingkat kemampuan pikirnya," pesan Yunita.

Pertama-tama, lanjut Yunita, cobalah perkenalkan konsep "bilangan". Penanaman konsep bilangan dapat diawali dengan mengenalkan "banyak-sedikit" atau "besar-kecil". Setelah itu, perkenalkan konsep angka, yang tujuannya agar anak tahu perbedaan antara satu dengan dua, dua dengan tiga, dst.

"Tetapi, mengenalkan angka-nya jangan langsung pakai simbol angka, ya (1, 2, 3). Karena, simbol sifatnya abstrak. Sementara balita lebih mudah menangkap yang kongkrit. Misal, untuk mengenalkan angka dua, gunakan gambar "dua buah apel". Untuk 2 + 3 = 5, gunakan
"dua apel" ditambah "tiga apel" hasilnya "lima apel". Dengan sesuatu yang konkret, anak akan segera melihat hasil penambahan adalah "lebih banyak". Sebaliknya, hasil pengurangan "lebih sedikit".

Lakukan Sambil Bermain
Mau anak akrab dengan matematika? Jadikan saja matematika "makanan" harian. Tetapi, jangan cekoki anak. Yunita menganjurkan, membiasakan tidak sama dengan mencekoki. "Lakukan pembiasaan dengan cara-cara menyenangkan. Seperti, sambil bermain," cetusnya.

Dengan cara bermain, anak jadi enjoy. Hasilnya pun bisa dipastikan efektif. Karena, belajar sambil bermain membuat otak anak mudah menyerap yang diajarkan. Saat ini, sudah banyak program komputer atau CD Rom berisi Fun Math atau belajar matematika cara menyenangkan bagi balita. Tetapi, secara tradisional pun kita bisa mengajarkan hal ini di rumah.

Contohnya, jika Anda memilih benda-benda, pilihlah berdasarkan bentuk, warna dan ukuran. Lalu, minta Si Kecil memisahkan sesuai bentuk, warna dan ukuran. Lalu, ajak ia menghitung. Jika Anda ingin anak menyukai angka, lakukan dengan permainan atau memanfaatkan benda-benda di sekitar rumah. "Pokoknya, masukkan saja matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, secara tidak sadar anak sudah belajar matematika. Niscaya setelah masuk sekolah, minatnya belajar matematika lebih tinggi. Dan, mereka tidak phobia lagi!" Yunita tersenyum.

Di Mana-mana Matematika!
Belajar matematika bisa di mana dan kapan saja. Kalau kita kreatif, lingkungan di sekitar anak bisa jadi "modul" matematika yang bagus.
 
Belajar Angka
Angka-angka ada di mana pun. Pohon, rumah, gedung, orang, dll, semua bisa dihitung. Hitunglah bersama-sama anak, sembari jemari Anda memperlihatkan jumlahnya. Kalau ingin angka nyata, juga banyak. Saat Anda mengendarai mobil, misalnya. Pasti ada angka di hampir bagian jalan. Entah itu di rambu lalu lintas, di plat nomor kendaraan. Eja keras-keras angka-angka tersebut bersama anak. Ulangi setiap kali Anda berpergian bersamanya. Lambat laun, anak akan mengenali dan hafal. Apalagi angka-angka itu hanya berjumlah 10, pas untuk anak usia ini.

Yuk, Hitung!
Untuk lebih memudahkan anak belajar matematika, tak ada salahnya selalu berhitung. Tengoklah sekeliling apa saja yang bisa dihitung. Misal, menghitung jumlah anak tangga di mal, menghitung permen di toples, menghitung anak ayam yang sedang mencari makan, dll.
Mengurut Angka

Ini cara lama, tetapi bisa diandalkan keampuhannya untuk melatih anak mengurutkan angka. Anda bisa buat sendiri angka-angkanya. Buatlah secara acak, dan mintalah anak mengurutkan dari angka kecil sampai terbesar, lalu warnai. Di toko buku juga mudah ditemukan buku mewarnai yang mengharuskan anak mengurutkan angka atau mengelompokkan benda sesuai gambar (instruksi) angkanya.
 
Belajar dari Nomor Telepon
Buat anak lebih akrab dengan angka lewat aktifitas memencet tombol telepon. Tulislah nomer telepon kantor Anda, mintalah anak menelpon Anda di kantor sehari sekali. Tak perlu lama-lama. yang penting ia belajar mengenal angka lewat nomor telepon. Atau, jika Anda akan menelpon teman, mintalah anak yang menyambungkan nomornya. Tentu di bawah pengawasan Anda. Cara ini secara mengasyikan akan membuat anak lebih mengenal angka.
 
Belajar Bentuk
Amati sekitar dan cobalah cari bentuk-bentuk yang akan diperkenalkan saat belajar matematika. Perkenalkanlah pada anak bentuk bujur sangkar, segitiga, lingkaran dan aneka bentuk lainnya. Ia pasti senang diperkenalkan dengan bentuk-bentuk ini. Ajak ia menggambar dan
menirukan bentuk-bentuk itu meski belum sempurna.
 
Bermain Kartu dan Domino
Bermain dengan kartu juga mengenalkan anak pada konsep menghitung. Hal ini, disadari atau tidak, membantu anak mengenal angka sekaligus mengembangkan kemampuan motoriknya.
»»  Baca Selengkapnya...

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA *)

Bookmark and Share
Oleh
Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc.
FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
editor: Wiwid Kurniandi

Pendahuluan

Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja. Artikel ini mencoba menguraikan paradigma baru tersebut. Secara garis besar akan diuraikan tentang beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika, seperti kontruktivis, kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL), dan secara khusus akan diuraikan tentang pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR).


Paradigma Baru Pendidikan

Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses belajar mengajar mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan GBPP atau apa yang telah tertulis di dalam buku paket.

Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.

Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).

Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).

Konstruktivis

Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).

Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).
 
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).


Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.

2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).

3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).

Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.

1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.

2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.

3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.

4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.


5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).


Pembelajaran Kontekstual


Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut (Johnson, 2002).


Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002).


Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002).


Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson, 2002).


Pendidikan Matematika Realistik


Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).


Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.


Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru, siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, bukti empiris prospek penerapan PMR di Indonesia, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di tanah air.




Sejarah PMR


PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.


Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?


Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis (Zamroni, 2000). Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000).


Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):


1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);


2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;


3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan


4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.


Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999).


Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

Konsepsi tentang siswa


PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:


· Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;


· Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;


· Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;


· Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;


· Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

Peran guru


PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:


· Guru hanya sebagai fasilitator belajar;


· Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;


· Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan


· Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.




Konsepsi tentang pengajaran


Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):


· Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;


· Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;


· Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;


· Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.




Bukti Empiris Prospek Penerapan PMR di Indonesia


Beberapa penelitian tentang PMR telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan bukti empiris tentang prospek pengembangan dan implementasi PMR di tanah air. Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.


Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar di Surabaya menunjukkan bahwa materi PMR dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di SD. Dalam penelitian tersebut Fauzan (2002) menemukan bahwa para guru dan siswa-siswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat berbeda dengan buku yang dipakai sekarang baik dari segi isi maupun pendekatannya. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan metode ‘chalk dan talk’, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber.


Penelitian Fauzan (2002) juga menemukan bahwa pada awalnya terdapat berbagai masalah yang disebabkan oleh sikap negatif siswa dalam belajar matematika yang merupakan akibat pendekatan tradisional pengajaran matematika. Untuk mengatasi hal tersebut Fauzan (2002) menyarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut:


· Sedini mungkin menjelaskan kepada siswa tentang perubahan peran mereka dan guru mereka dalam proses belajar mengajar, dan hal itu berbeda dengan cara sebelumnya atau yang selama ini dipraktikkan di kelas.


· Guru perlu menjelaskan kepada para siswa tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, dan jenis jawaban yang diharapkan untuk menyelesaikan soal-soal kontekstual.


· Berkenaan dengan sikap negatif siswa-siswa dalam proses belajar mengajar matematika, hal-hal berikut dapat membantu mengubah sikap tersebut:


- Menciptakan pendahuluan yang menantang sebelum siswa mulai menyelesaikan soal-soal kontekstual sehingga siswa merasa gembira dan bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal tersebut.


- Menciptakan suasana demokratis di kelas sehingga siswa tidak merasa takut untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Suasana demokratik artinya siswa merasa bebas untuk aktif dalam proses belajar tanpa merasa takut membuat kesalahan jika mereka ingin bertanya atau menjawab pertanyaan.


- Menerapkan aturan-aturan dalam mengajukan pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan (misalnya mengangkat tangan, tidak boleh berteriak). Katakan kepada siswa bahwa ada konsekuensinya jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah disepakati (misalnya dalam menjawab soal harus disertai dengan alasan, kalau itu dilakukan siswa akan mendapat nilai lebih baik).


· Sebagian orangtua siswa membantu anaknya dalam pengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), oleh karena itu mereka perlu diberitahu tentang perubahan pendekatan pembelajaran matematika ini, yaitu dari pendekatan tradisional ke pendekatan realistik.


· Disadari bahwa para siswa dan guru perlu waktu untuk dapat mengadaptasikan pendekatan PMR ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga untuk dapat menerapkan PMR secara berhasil perlu pembiasaan melalui latihan di kelas.


Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang. Penelitian Armanto (2002) juga menunjukkan bahwa siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok. Kesempatan siswa untuk belajar dalam situasi yang berbeda-beda mendorong mereka merumuskan kembali proses belajar mereka. Selama proses belajar siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam belajar perkalian dan pembagian bilangan multi-angka.


Hasil yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh Hadi (2002). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil sampel siswa-siswa SLTP ditemukan hasil positif dalam penggunaan materi PMR dalam pembelajaran matematika, yaitu siswa menjadi lebih termoticvasi, aktif, dan kreatif dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh materi yang menarik karena dilengkapi dengan gambar-gambar dan cerita. Siswa juga menunjukkan kemajuan dalam belajar matematika, yang ditujukkan dengan pemahaman konsep matematika yang mereka pelajari dan peningkatan skor yang mereka peroleh dari pretes ke postes, walupun dengan menggunakan tes konvensional. Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002).


Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:


· di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;


· mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;


· bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;


· memiliki kepercayaan diri yang tinggi.




Referensi


Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary schools: a prototype of local instructional theory. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.


Blum, W. and Niss, M. (1989). Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects – State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts. Chichester: Ellis Horwoord.


De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press.


Fauzan, A. (2002). Applying realistic mathematics education in teaching geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.


Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD-b Press, the Netherlands.


Gravemeijer, K.P.E. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD-b Press, the Netherlands.


Johnson, E.B. (2002). Contextual teaching and learning, what it is and why it’s here to stay. Thaousand Oaks: Corwin Press, Inc.


Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for the Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.


Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan (1999). Kompas. [On-line]. Tersedia: http://kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1634.html


Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.


Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.


Zulkardi. (2002). Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.


*) Makalah disajikan pada pertemuan Forum Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan, di Rantau Kabupaten Tapin, 30 April 2003.
»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 18 Mei 2010

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI ANAK DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

Bookmark and Share

Perbedaan fase perkembangan status sosial di dunia anak-anak dalam persahabatan dan mendapatkan kawan bermain di lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah, berbeda dengan pengertian persahabatan yang terjadi pada orang dewasa, untuk orang dewasa persahabatan adalah suatu ikatan relasi dengan orang lain, di mana kepercayaan, pengertian, pengorbanan dan saling membantu satu sama lainnya akan terjalin dalam periode yang lama, sedangkan di dunia anak-anak tidak seperti halnya yang terjadi pada orang dewasa, di dunia anak-anak persahabatan terjalin tidak untuk waktu yang lama, terkadang bila terjadi masalah yang kecil saja, jalinan persahabatan tersebut akan terputus.
Ada dua metode penelitian untuk mengetahui arti persahabatan dan kawan bermain di dalam dunia anak-anak :
1.      Dengan cara kita mengajukan beberapa pertanyaan, seperti ;
Siapa teman dekatmu ? kenapa dia ? apa yang kamu senangi dari dia ?
2.      Dengan cara kita bercerita tentang persahabatan, kemudian kedua orang sahabat tersebut bertengkar karena mereka tidak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik.
Dari kedua metode tersebut, metode yang nomor dua kita akan banyak mendapatkan informasi, kemudian kita ajukan pertanyaan kepada anak ; Harus bagaimanakah situasi itu diselesaikan ?
Dari banyak informasi yang diberikan anak tersebut, kita akan mendapatkan kesimpulan yang kita bagi dalam beberapa fase, seperti ;

1-      Fase Pertama:
Fase pertama adalah teman untuk bermain untuk usia anak antara 5 sampai 7 tahun. Bagi mereka, teman adalah seseorang yang mempunyai mainan yang menarik yang tempat tinggalnya dekat di sekitar mereka, dan mereka mempunyai ketertarikkan yang sama.
Kepribadian dari teman tersebut tidak menjadi masalah, yang terpenting bagi mereka adalah kegiatan dan mainan apa yang mereka miliki, persahabatan mereka akan terputus apabila salah seorang dari anak tersebut tidak mau bermain lagi dengan anak lainnya karena kejenuhan dan kebosanan, persahabatan mereka akan secepat mungkin terputus dan terbina kembali begitu saja.
Contoh percakapan yang sering kita temui pada anak-anak usia 5 sampai 7 tahun, antara lain mengenai berbagi makanan, misalnya ;
“Kalau kamu memberi saya coklat, kamu temanku lagi”
Dalam usia ini mereka dengan gampangnya mengatakan tentang berteman, biasanya percakapan mereka dimulai dengan perkataan “namamu siapa ? dan namaku......” dan mereka bisa begitu saja berteman setelah saling mengetahui nama masing-masing.
2-      Fase Kedua
- Teman untuk bersama
Teman bermain dan membangun kepercayaan, untuk usia anak antara 8 sampai 10 tahun.
Dalam usia mereka ini, pengertian teman sedikit lebih luas dari pada fase pertama, karena arti teman bagi mereka sudah melangkah ke perasaan saling percaya, saling membutuhkan dan saling mengunjungi.
Dalam fase ini seorang anak untuk mendapatkan teman tidak segampang anak pada fase pertama, karena mereka harus ada kemauan berteman dari kedua belah pihak.
Mereka tidak akan mau berteman lagi setelah di antara mereka timbul masalah, seperti ;
   - Salah seorang di antara mereka ada yang melanggar janji ;
   - Salah seorang di antara mereka ada yang terkena gosip ;
   - Salah seorang di antara mereka tidak mau membantu, disaat temannya tersebut
     membutuhkan pertolongan.
Percakapan yang sering kita temui pada fase kedua ini, misalnya ;
“Kenapa kamu pilih dia sebagai temanmu ?”
Dalam fase ini, seorang anak tidak mudah menjalin persahabatan, biasanya persahabatan tersebut terjadi setelah beberapa saat mereka saling mengenal baik baru mereka akan menjalinnya, kadang persahabatan mereka bisa sampai usia dewasa, kadang juga terputus tergantung factor apa yang terjadi selama persahabatan mereka.
Fase Ketiga
- Persahabatan yang penuh dengan saling pengertian
Terjadi pada anak usia 11 sampai 15 tahun, bagi mereka arti teman tidak hanya sekedar untuk bermain saja, di sini seorang teman harus juga bisa berfungsi sebagai tempat berbagi pikiran, perasaan dan pengertian.
Pada fase ini persahabatan memasuki stadium yang sangat pribadi, karena pada umumnya mereka sedang mengalami masa puber dengan permasalahan psikologis seperti ; depresi, rasa takut, problem di rumah, atau problem keuangan yang terjadi pada mereka, biasanya mereka lebih tahu permasalahan psikologis tersebut dibandingkan dengan orang tua mereka sendiri.
Persahabatan pada fase ini bisa berubah seiring dengan berjalannya usia mereka, dari sekedar teman bermain, kemudian berkembang menjadi teman berbagi kepercayaan dan teman berbagi emosi.
Persahabatan tersebut biasanya terputus karena salah seorang dari mereka pindah rumah atau
melanjutkan sekolah di kota lain.
Percakapan di antara mereka yang sering kita dengar pada fase ini, misalnya ;
“Kita butuh teman yang baik, karena kita bisa berbagi ceritera di mana orang lain tidak perlu tahu, teman yang baik akan memberi nasihat atau jalan keluar yang terbaik”
 Pentingnya Persahabatan Untuk Perkembangan Sosial Anak-Anak
- Populer atau Tidak Populer dan Apa Akibatnya
Di dalam lingkungan sekolah dasar, biasanya ada anak yang populer dan tidak populer, baik anak tersebut lebih menonjol karena kepintaranya atau pun karena hal yang lainnya.
Mereka mendapat perhatian lebih, seperti selalu diundang dan hadir di pesta ulang tahun temannya sedangkan yang tidak populer tidak pernah diundang.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan sosial anak populer dan tidak populer di dalam kelas, seorang guru atau kita, dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka,
seperti ;
   - Dengan siapa kamu mau pergi tamasya ?
   - Dengan siapa kamu mau duduk ?
Ternyata anak populer lebih banyak disebut dan anak tidak populer jarang atau sama sekali tidak disebut.
Untuk lebih mengetahui anak populer dan tidak populer, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikembangkan lagi dengan pertanyaan-pertanyaan negatif dan pertanyaan-pertanyaan positif.
Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita bisa lebih cepat mengetahui mana anak populer dan mana anak yang tidak populer dan juga kita bisa lebih cepat mengetahui serta membantu mengatasi problem si anak pada stadium yang masih belum terlalu jauh.
Dengan cara tersebut, pada akhirnya kita bisa membedakan perkembangan anak-anak secara berurutan, seperti ;
1. Anak-anak yang menyandang bintang sosiometris
    Bintang sosiometris, artinya mereka paling banyak disebut sisi positifnya dari pada sisi     
negatifnya, biasanya mereka disenangi dan diakui oleh teman-temannya sedikit dari mereka yang menyandang bintang sosiometris ini merasa terasingkan.
2. Anak-anak yang biasa
    Biasanya mereka tidak begitu populer dibandingkan dengan bintang sosiometris, tetapi mereka lebih banyak disebut sisi positifnya dan sedikit disebut sisi negatifnya.
3. Anak-anak yang terisolir
Biasanya mereka tidak disebut sisi positifnya dan juga tidak disebut sisi negatifnya, sepertinya anak terisolir tersebut tidak terlihat oleh teman-temannya.
4. Anak-anak yang terasingkan
Biasanya mereka oleh anak-anak yang lain diasingkan dan tidak diakui sebagai teman, mereka biasanya sedikit sekali disebut sisi positifnya dan lebih banyak disebut sisi negatifnya.
Dari urutan-urutan di atas, kita sebagai orang tua harus cepat tanggap dan tidak ragu untuk bertanya kepada guru di sekolah, bagaimana perkembangan psikologi anak di lingkungan sekolah, hal tersebut dilakukan untuk membandingkan perkembangan psikologi anak di lingkungan rumah dan di lingkungan sekolah, supaya kita dapat secepatnya menelusuri dan mengetahui apakah anak kita mempunyai masalah dalam dirinya yang tidak berani diungkapkan kepada kita sebagai orang tuanya dan kita bisa dengan cepat menangani serta membantu memecahkan masalah si anak tersebut, sebelum masalah anak tersebut terlanjur merubah sifat dan karekter si anak.
 Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dalam status sosial anak
1. Cara orang tua mendidik dan membina anak
Orang tua yang mendidik anak dengan cara bertahap dalam menjelaskan sesuatu hal, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, biasanya anak-anak mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mereka akan mudah dalam mengembangkan hubungan sosialnya.
Lain halnya dengan anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang secara penuh dan mereka dididik oleh orang tuanya dengan cara kasar serta mendapatkan peristiwa yang membuat anak tersebut trauma, maka kita bisa dengan jelas melihat perbedaan yang mencolok, biasanya anak tersebut sulit dikendalikan dan memiliki masalah, mereka tidak akan mudah membina hubungan sosial dan sulit membina persahabatan dengan anak lainnya.
2. Urutan kelahiran
Urutan kelahiran, mempengaruhi juga dalam status sosial anak, karena biasanya anak yang paling muda lebih populer dan terbiasa dengan negoisasi dari pada saudara-saudaranya.
3. Kecakapan dan keterampilan mengambil peran
Biasanya anak-anak populer memiliki kecakapan dan keterampilan dalam mengambil apa pun posisi peran dan posisi peran tersebut dapat berkembang menjadi lebih baik.
Anak-anak populer biasanya memiliki intellegensi/kecerdasan yang baik.
Dengan memiliki ciri-ciri tersebut, anak-anak populer lebih mudah menempatkan dirinya atau beradaptasi dilingkungan yang asing.
4. Nama      
Ternyata di lingkungan anak-anak, nama dapat membawa pengaruh.
Nama yang dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal, dapat membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial psikologi anak. karena anak-anak masih sangat kongkrit dalam menyatakan sesuatu hal, akibatnya anak tersebut merasa rendah diri dan tersudut apabila anak-anak yang lain mencemoohkan karena namanya dapat diasosiasikan dengan sesuatu hal.
5 Daya tarik
Anak-anak yang memiliki daya tarik tersendiri, biasanya selalu populer daripada anak yang kurang memiliki daya tarik.
Anak-anak yang berumur 3 tahun, sudah bisa membedakan mana anak-anak yang menarik dan mana anak-anak yang kurang menarik, reaksi ketertarikkannya hampir sama dengan orang dewasa.
Pada anak usia 3 tahun, anak yang menarik dan anak tidak menarik tidak begitu kelihatan mencolok, tetapi pada anak usia 5 tahun, hal tersebut dapat terlihat sangat jelas, anak usia 5 tahun yang tidak menarik biasanya lebih agresif dan sering tidak jujur dalam bermain, sedangkan pada anak usia 5 tahun yang memiliki daya tarik, biasanya mereka sering diberi masukkan-masukkan yang positif dari sekitarnya sehingga tumbuh rasa percaya diri yang lebih tinggi, sabaliknya pada anak usia 5 tahun yang tidak menarik rasa percaya dirinya berkurang karena terpengaruh masukkan-masukkan yang negatif dari lingkungannya.
6. Perilaku
Tidak semua anak yang menarik menjadi populer karena masih banyak faktor lainnya yang bisa mempengaruhi katagori populer.
Perilaku yang membuat anak populer, antara lain ; ramah tamah, mempunyai rasa simpati, tidak agresif, bisa berkerja sama, suka menolong, suka memberikan masukkan atau komentar yang positif, dan lain-lain.
 Secara umum faktor-faktor di atas terdapat pada anak-anak yang populer, dan factor-faktor tersebut dapat menentukan status sosial anak, tetapi tidak selamanya anak  populer pada nantinya dapat menentukan status sosial, sebagian anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang selalu terjaga pendidikannya, intellegensinya, cakap dan terampil, mempunyai nama yang baik serta menarik tetapi tidak popular, sebagian lagi ada juga anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang bermasalah, kurang perhatian dari orang tua, mempunyai nama yang kurang bagus, dan tidak memiliki daya tarik, tetapi bisa juga menjadi populer.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang kurang dihargai seperti ; Anak-anak yang terisolir dan Anak-anak yang terasingkan.
Kelompok anak-anak tersebut memiliki nilai yang rendah dari anak-anak seumurnya, akan tetapi anak-anak yang terisolir lebih mudah diakui dari pada anak-anak yang terasingkan, namun lama kelamaan anak-anak yang terasingkan akan diakui juga.
Anak-anak yang terasingkan memiliki resiko adaptasi lebih besar dalam usia menjelang dewasa, mereka menjadi terasingkan karena ada penyimpangan dari salah satu factor status sosial anak.
Jika anak-anak ini lemah dalam menghadapi ejekkan-ejekkan atau godaan dari anak-anak lainnya, maka hal tersebut dapat membentuk perilaku dan proses belajarnya akan terganggu.
Beberapa problem pada anak-anak yang terasingkan, antara lain ;
-          secara terbuka mereka diasingkan
-          sering terlibat dalam hal-hal kejadian interaksi yang negatif
-          mempunyai masalah perilaku
-          sering memperlihatkan perilaku agresif
-          mempunyai status negatif yang stabil
-          sering bermasalah di sekolah
 Secara umum anak-anak yang terasingkan, berreaksi dengan dua cara :
1. Menarik diri
Biasanya mereka menarik diri dari kontak dengan yang lain, mereka sebetulnya ingin main dengan anak-anak lainnya, tetapi mereka diacuhkan dan diabaikan keberadaannya, malahan mereka mengejeknya seperti dengan sebutan “professor” karena anak tersebut memakai kacamata, maka dari itu mereka selalu menhindar dari anak-anak lainnya, di rumah biasanya mereka juga pendiam dan selama mungkin tinggal di kamarnya dengan membaca komik atau mendengarkan musik, kepada orang tuanya mereka beralasan tidak suka main di luar.
2. Perilaku anti sosial
Biasanya mereka sulit untuk diatur, padahal anak-anak lainnya tidak suka dengan perilakunya, misalnya ;
Pada saat anak-anak yang lain bermain bola, kemudian datang anak yang terasingkan, tetapi tidak untuk ikut bermain dengan anak-anak lainnya, anak tersebut datang hanya sekedar untuk mengganggu saja dengan mengambil bolanya, dan apabila ikut bermain bola pun anak itu akan tampil dengan kasar sehingga membuat anak-anak lainnya berhenti bermain, anak yang terasing itu akan marah-marah hingga akhirnya anak-anak yang lain terpaksa mengalah dan bermain bola kembali dengan aturan-aturan yang dikehendaki oleh anak yang terasing tadi.
Untuk anak-anak yang terasing ini di negara-negara yang sudah maju, seperti di Belanda, para orang tua dari anak tersebut akan mendapat laporan dari pengajar atau guru, kemudian mereka diberikan penyuluhan dan konsultasi dari Psikolog Anak yang ada di bawah Departemen Urusan Anak-anak Bermasalah, kemudian akan dikirim ke Departemen Kesehatan untuk gangguan jiwa yang tidak stabil untuk diberi pengarahan dan keterampilan sosial dalam  cara menyesuaikan diri atau cara beradaptasi di lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah.
Untuk orang yang lebih dewasa, mereka diajarkan semacam therapy untuk beradaptasi dalam lingkungan masyarakat supaya akhirnya mereka bisa mandiri.
»»  Baca Selengkapnya...

GAYA KERJA KEPEMIMPINAN DAN NEGOSIASI DALAM ORGANISASI

Bookmark and Share

A. GAYA KERJA
Latar Belakang
            Dalam manajemen organisasi dan kepemimpinan kita selalu akan dihadapkan dengan berbagai tipe gaya kerja yang ditampilkan seorang pemimpin dalam menghadapi orang lain. Gaya kerja tersebut terutama akan ditampilkan oleh seseorang ketika dia melakukan negosiasi dengan pihak lain dalam membicarakan sesuatu. 
            Gaya kerja seorang pemimpin berbeda satu dengan lainnya. Ada pemimpin yang gaya kerjanya semau gue, suka melayani, memerintah, yang penting mengikuti hukum dan peraturan serta mempergatikan kepentingan bersama.  Kemampuan kita dalam memahami tipe gaya kerjanya niscaya akan mendukung keberhasilan kita dalam mengkomunikasikan gagasan yang ingin kita sampaikan atau maksud yang ingin kita capai dalam sebuah negosiasi.
            Dengan demikian, pemahaman dan penguasaan mengenai berbagai gaya kerja seorang pemimpin dan strategi bernegosiasi akan membantu para aktivis organisasi dalam mencapai tujuan dan dalam melaksanakan program kerjanya.      

Lima Pola Dasar dalam Berhubungan dengan Orang Lain:
1.      Menganggap orang lain adalah “pembantu” untuk menyelesaikan pekerjaan/ kepentingannya.
2.      Menganggap bahwa dirinya adalah “pembantu” orang lain untuk mencapai kepentingan orang lain itu.
3.      Menganggap bahwa dirinya dan orang lain adalah pribadi yang berdiri sendiri yang tidak saling tergantung satu terhadap lainnya.
4.      Menganggap bahwa dirinya dan orang lain  itu bersama-sama harus memikirkan kepentingan pihak lain dengan memperhatikan peraturan atau hukum yang berlaku.
5.      Menganggap bahwa dirinya dan orang lain itu adalah mitra kerja yang saling memiliki kepentingan yang tergantung satu dengan lainnya, dan karenanya dirinya harus dapat bekerja sama dengan pihak lain.

Pengertian Gaya Kerja

Gaya kerja adalah kesatuan dari berbagai cara/ tindakan yang didasari oleh sistem nilai dan asumsi (SINA)  seseorang dan ditampilkan ketika ia melakukan hubungan kerja dengan orang lain. Ini berarti:
(1)   Gaya kerja bukanlah tingkah laku tertentu, melainkan kesatuan tingkah laku yang mempunyai pola.
Dua orang yang gaya kerjanya berbeda, bisa saja suatu saat menampilkan tingkah laku yang sama. Merokok adalah tingkah laku, bukan gaya kerja.
(2)   Tingkah laku yang bukan merupakan bagian dari interaksi dengan orang lain tidak  dapat digolongkan sebagai gaya kerja.
      Berdansa dengan mengikuti gaya dan irama tertentu adalah tingkah laku  
      yang mempunyai pola, tetapi bukan gaya kerja.
(3)   Gaya kerja bukan tingkah laku itu sendiri tetapi sebuah penyimpulan berdasarkan persamaan-persamaan yang muncul dalam tingkah laku konkret.
Gaya kerja X misalnya, ditandai dengan cara bertanya yang berbelit-belit, cara menjelaskan yang tidak to the point, atau sebaliknya langsung pada objek permasalahan, penuh dengan argumentasi, dan lain-lain.
(4)   Gaya kerja bukanlah kepribadian. Gaya kerja hanya sebagian dari kepribadian seseorang. Kepribadian meliputi seluruh aspek kehidupan seseorang seperti: intelegensi, bakat, minat, sifat, dan sebagainya.

      Dua orang dengan gaya kerja berbeda dapat memiliki minat yang sama, atau
     dua orang yang berbeda minatnya dapat saja memiliki gaya kerja yang sama.
(5)   Gaya kerja bukanlah temperamen.
Temperamen adalah kecenderungan seseorang untuk memberikan reaksi afektif tertentu. Temperamen umumnya bersifat tetap; gaya kerja mungkin berubah.
Dua orang yang temperamennya sama, pemarah misalnya, dapat berbeda gaya kerjanya.

Elemen-elemen Gaya Kerja
1.      Mengkomunikasikan gagasan.
                2.  Mengkaji gagasan pihak lain.
         3.  Menangani keluhan.
               4.  Menolak permintaan.
               5.  Menyampaikan kritik.
               6.  Menyelesaikan konflik.
               7.  Mengambil keputusan.

Macam-macam Tipe Gaya Kerja

1.      Gaya Kerja Komandan
Umumnya merasa benar sendiri; yakin bahwa ia tahu apa yang harus dikerjakan; berusaha memaksa orang lain mengikuti pendapatnya.

2.      Gaya Kerja Pelayan
Memiliki keinginan yang kuat untuk disenangi orang lain; tidak tahan dimusuhi orang lain; berasumsi bahwa hubungan baik dengan orang lain selalu akan membawa keberuntungan; kepentingan pihak lain harus didahulukan.


3.      Gaya Kerja Bohemian
Tak mau merepotkan & tak mau direpotkan orang lain; segan bekerja sama; lebih senang bekerja sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi akan hasil pekerjaannya.

4.      Gaya Kerja Birokrat
Sangat teliti dan memperhatikan prosedur dan peraturan; berusaha bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku;  pada dasarnya tidak ingin dipersalahkan pada kemudian hari; segala tindakannya memiliki dasar hukum.

5.      Gaya Kerja Manajer
Berpegang pada slogan: “In a good negotiation, everybody wins.” Berusaha untuk mencapai yang terbaik bagi semua pihak; berasumsi bahwa jika semua pihak mendapat keuntungan, maka kepatuhan terhadap keputusan yang diambil akan kuat; orang akan lebih bergairah dalam mengerjakan tugasnya.

Perbandingan Ciri-ciri Gaya Kerja


(1) Dalam Hal Nilai dan Asumsi
            Gaya kerja pada dasarnya adalah pencerminan dari Sistem Nilai dan Asumsi (SINA). Bverikut adalah nilai dan asumsi yang umumnya dipegang oleh orang dengan gaya kerja masing-masing.

KOMANDAN:
     “Orang pada umumnya hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kita harus berjuang –jika perlu dengan kekerasan—untuk memenangkan kepentingan kita.”  
     Kepentingan kelompok harus didahulukan daripada kepentingan perorangan.
PELAYAN:
     “Hubungan baik akan sangat membantu dalam menjalankan pekerjaan yang melibatkan orang lain. Kita harus menjaga perasaan orang lain.”
     Jika orang tidak senang kepada kita, pekerjaan kita akan banyak terhambat.
BOHEMIAN:
     “Tanpa saya dunia akan tetap berputar. Tidak ada gunanya repot-repot memikirkan kepentingan orang lain, mereka toh juga tidak memikirkan kepentingan saya.”
      Kepentingan perorangan harus didahulukan daripada kepentingan kelompok.
BIROKRAT:
     “Peraturan akan mengamankan segalanya, yang penting ikuti peraturan yang ada. Pada dasarnya orang mau mengikuti peraturan jika kita juga berpegang pada peraturan.”
     Yang paling penting dalam bekerja adalah memenuhi tanggung jawab kita sesuai dengan peraturan yang berlaku.
MANAJER:
    “Menenuhi kepentingan orang lain belum tentu merugikan kepentingan kita sendiri. Yang penting berusaha mencapai yang terbaik untuk semua pihak.”
     Usulan orang lain terkadang lebih baik daripada pendapat kita; karena itu ada baiknya memperhatikan usulan orang lain.

(2) Dalam Mengambil Keputusan

KOMANDAN:
   Mengambil keputusan yang dianggapnya terbaik tanpa peduli ada pihak lain yang tidak setuju dengan keputusannya. Berusaha menggunakan wewenang untuk memaksakan pendiriannya.


PELAYAN:
   Jarang mau secara tegas  mengambil keputusan yang ditentang oleh pihak lain. Dalam situasi perundingan yang dihadiri banyak orang, lebih suka jika keputusan diambil dengan pemungutan suara terbanyak. 

BOHEMIAN:
    Mengambil keputusan yang tidak merugikan kepentingannya, dan tidak tidak terlalu peduli apakah keputusannya disetujui atau tidak disetujui oleh pihak lain.

BIROKRAT:
    Jika merasa berwenang mengambil keputusan, maka ia cukup berani mengambil keputusan walaupun ada yang menentang. Putusan yang diambil berdasarkan peraturan yang berlaku.

MANAJER:
     Berusaha mengambil keputusan yang disepakati oleh semua pihak; berusaha menjelaskan akibat dari keputusan yang akan diambil; selalu mempertimbangkan berbagai alterbataif sebelum mengambil kesimpulan; mengontrol lebih jauh apakah pihak lain merasa puas dengan keputusan yang akan diambil. 

B. NEGOSIASI

Pengertian Negosiasi

(1)      Proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap dan perilaku orang lain.
(2)       Proses untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain.


Pola Perilaku dalam Negosiasi:
(1)      Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
(2)      Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan,  menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
(3)      Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
(4)      Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi. 

Ketrampilan Negosiasi:
(1)     Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
(2)     Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
(3)     Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
(4)     Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa  sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
(5)     Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.

Negosiasi dan Hiden Agenda:
Dalam negosiasi tak tertutup kemungkinan masing-masing pihak memiliki hiden agenda.
Hiden agenda adalah gagasan tersembunyi/ niat terselubung yang tak diungkapkan (tak eksplisit) tetapi justru hakikatnya merupakan hal yang sesungguhnya ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan.

Negosiasi dan Gaya Kerja
(1)   Cara bernegosiasi yang dilakukan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh gaya kerjanya.
(2)   Kesuksesan bernegosiasi seseorang didukung oleh kecermatannya dalam memahami gaya kerja dan latar belakang budaya pihak lain.

Fungsi Informasi dan Lobi dalam Negosiasi
(1)   Informasi memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki informasi biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
(2)   Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya dipertimbangkan lebih dulu.
(3)   Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/ kedua pihak, maka lobying dapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.
»»  Baca Selengkapnya...

 
 
..:: Perhatian !! terima kasih atas kunjungannya ^_^ silahkah berkunjung lagi di lain waktu ::..